teman lama


“makin kau dewasa, makin sedikit pula kawanmu. Maka kau akan semakin merasa sendiri”
Pahami baik-baik kalimat diatas. Maka akan muncul pertanyaan kenapa semakin sedikit kawan ketika semakin kita dewasa ? dan kenapa semakin merasa sendiri akhirnya ?

Seseorang pernah sampaikan hal itu padaku. Jauh dulu sebelum kemudian aku tumbuh menjadi perempuan 24 tahun.
Tak begitu ku pikir apa yang ia katakan waktu itu. Pikirku waktu itu adalah benar atau tidak yang ia sampaikan pun takkan ada pengaruhnya dalam hidupku kedepan. Karena aku tak pernah benar-benar miliki teman yang tau semua tentangku. Kemudian aku juga terbiasa menjadi pendengar untuk beberapa teman dan tak pernah bergantung pada siapapun kecuali pada mas amir dulu.
Hampir ku jalani seluruh hidupku dengan teman seadanya. Tak terlalu dekat juga tak terlalu jauh.
Jika ku hitung berapa banyak temanku mungkin aku tak kan pernah bisa menghitungnya dengan benar.
Tapi yang ku tahu dari mereka adalah mereka hanya sekedar mengenal namaku “rani”, bukan bagaimana diriku. Bukan salah mereka sebenarnya. Salahku yang telalu menutup diri dan membatasi diriku untuk menjelaskan apa yang telah aku lalui dan yang pernah aku rasakan. Bagiku tak ada kewajiban untuk menjelaskannya pada orang lain. Yang ku tahu bagian dari cerita itu akan menjadi beban bagiku, apalagi bagi orang lain.
Jika aku lebih menjadi pendengar dan berpura-pura dewasa sebenarnya aku hanya menjalankan fungsiku sebagai teman yang dipercaya untuk menjadi labuhan keluh kesahnya. Terlihat egois bukan diriku ? mungkin sebagian orang mengatakan ya, atau mungkin sebagiannya lagi berpikir bahwa aku baik-baik saja dan semuanya take it flow.

Kemudian masuk di usia 24 tahun aku benar-benar merasa semakin sendiri dan merasa bahwa ruang interaksi pun mulai berkurang.
Apa yang salah ? menurutku tak ada. Ini hanya persoalan tuntutan yang semakin harus dipenuhi yang kemudian memaksa pergaulan dan ruang yang sebelumnya luas menjadi semakin sempit.
Di usia ini aku mulai berpikir bahwa pertemanan yang muncul itu terjadi atas dasar kesamaan kisah, dan kesamaan rasa. Hampir minim ku temui mereka berkawan atas dasar tujuan yang sama. Mungkin memang di usia ini mereka sudah memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masingnya berjalan sesuai dengan plan yang sudah mereka tentukan sendiri.

Maka tulisan ini ku buat dengan penuh rasa kecewa.
Tapi tulisan ini juga bentuk apresiasi atas kepedulian beberapa kawan yang sampai hari ini masih ingin memelukku dengan keterbatasannya.
Apa keterbatasannya ? nanti akan kujelaskan di baris-baris berikutnya.

Apa yang lebih menyakitkan dari dinilai sia-sia menjalani hidup dan cenderung membuang waktu hanya demi mempertahankan seseorang ?
Apa yang lebih menyakitkan dari tujuanmu yang tak dapatkan respon baik dari teman yang kau anggap dekat dulu ?
aku pikir setiap manusia miliki tujuan sendiri atas hidupnya kedepan, begitu juga dengan pilihannya.
Lalu mengapa kita sebagai pihak eksternal mampu men-judge bahwa pilihan yang sedang dijalani dalah sia-sia dan membuang waktu ?
Apa karena pilihanku berbeda dengan pilihanmu maka kau bebas sebutkan bahwa kali ini pilihanku tak benar ?
Kita lahir dengan kapasitas otak dan daya pikir yang berbeda. Cara pandang kita pun berbeda.
Lantas ketika berbeda apa harus kita memaksakan orang lain sama dengan kita atau kita sama dengan mereka ?
Harusnya kau tahu. Ada beberapa hal yang kemudian sifatnya prinsipil tak pernah bisa kita satu frame kan.
Maka apa yang harus dilakukan untuk tetap bisa berhubungan dengan baik tanpa melukai prinsip yang ada  ?
Aku rasa hanya dengan saling menghargai dan menghormati atas pilihan orang lain.

Baiklah, terima kasih karena telah peduli atas pilihan hidupku.
Tapi kau lupa satu hal atas keterbatasanmu.
Harusnya sebelum kau lakukan judge atas pilihanku. Kau bertanya dulu padaku apa alasanku memilihnya ?
Paling tidak kau temukan dulu fakta-fakta yang bisa menjustifikasi bahwa judge mu benar adanya.
Minimal jika tak kau tanyakan padaku, kau mengenalnya dengan baik. Atau boleh jadi kau kenal temannya lalu kau berkesimpulan atas dasar cerita temannya.
Sekalipun begitu juga tak ku nilai benar karena tak kau coba untuk objektifkan lagi. Tapi minimal kau cari tau dulu baru kau bisa berkesimpulan.
Bukan berani memberikan judgement tanpa dasar.
Kau tau seorang auditor ketika ia memiliki temuan, hal yang ia lakukan sebelum memberi judgement dan closing audit biasanya mereka meeting untuk diskusi bahwa temuan tersebut diakui benar adanya oleh kedua belah pihak. Bukan benar untukmu dan salah bagiku. Atau bahkan sebaliknya.
Aku pikir kita dilahirkan dengan jargon yang sama. Lantang bicara, berani aksi, dan bertanggung jawab bukan ?
Apa salah jika kali ini aku menyayangkan semuanya ?

Sekali lagi, bahkan kau tak pernah pura-pura bertanya sudah sejauh mana ? sudah apa saja yang dilakukan dan di upayakan ? sudah sekuat apa bangunan yang pelan-pelan kami bangun ? sudah membicarakan apa saja untuk kedepan ? sudah sampai mana plan yang dilakukan ?

Tolong. tolong tanyakan hal itu agar kau juga tau bahwa kami tak sekedar bermain-main dan membuang waktu untuk hal yang sia-sia.
Jika aku bertanya padamu, tau apa kau soal takdir hidup ku ?
Kau bisa menjawab ?
Pertanyaan yang mudah bukan ?
Semudah saat kau tanya “sebutkan padaku satu saja contoh orang yang menyelesaikan studi dengan waktu yang lama dan bisa sukses hari ini ?”
Sebenarnya bisa saja ku jawab dan kita berdebat saat itu juga. Tapi ku ambil jalan sedikit menunduk dan hanya berpikir bahwa itu hanya luapan emosi temanku yang hari ini sedang ikut berpikir soal masa depanku.

Jika kau nilai itu bentuk kepedulian, maka bisa saja ku nilai itu sama dengan menghancurkan anganku.
Karena rasanya jika ku ingat lagi terakhir kita dekat adalah sekitar 3 tahun yang lalu sebelum kita dipisahkan oleh jarak dan kesibukan masing-masing.
Kemudian saat itu aku tak tahu banyak soal kabar dan ceritamu. Begitu juga denganmu.

Kau tak pernah tau bagaimana ia menghidupkan hatiku yang sudah lama sekali rasanya mati.
Kau tak pernah tau bagaimana ia berusaha untuk menjadi lebih baik dan berusaha menebus kesalahan yang hari ini ia akui sebagai kesalahan.
Apa gunanya berdebat soal masa lalu ? hal itu bukannya selesai dengan pengakuannya atas kesalahan tersebut dan upayanya untuk tak lagi salah ?

Aku rasa aku tak pernah sedikitpun ikut campur dalam hidupmu, terlebih pilihanmu.
Bukan hanya denganmu. Tapi dengan semua orang di sekelilingku.
Kenapa ? karena aku rasa kalian semua punya alasan sendiri atas pilihan tersebut.
Aku pikir juga kalian tak terlalu bodoh untuk tau konsekuensi apa yang melekat pada pilihan kalian.
Karena aku pikir kalian dewasa dan mampu maka aku tak pernah campuri hal itu sedikitpun.
Ada batasan yang harus dijaga dari pola komunikasi, da nada hal yang seharusnya tak kita lewati dari batas berkawan.
Tapi rasanya hanya aku yang miliki batasan atas hal itu dan kau lewati batasan itu based on “kepedulian”


Tapi terlepas dari semua itu, rasanya perlu kusampaikan banyak terima kasih. Tetap kata itu yang harus ku sampaikan.
Karena dengan begitu aku tau bahwa aku masih memiliki teman, tapi di waktu yang bersamaan aku juga kecewa.
Untuk rekomendasi darimu, terima kasih juga aku sampaikan. Tapi perlu juga ku sampaikan bahwa untuk hubunganku akan diakhiri atau tidak rasanya kau tak perlu campuri hal itu.
Karena kami cukup bisa menilai kapan kami harus bertahan, berjuang, atau bahkan kapan kami harus berakhir (seperti inginmu).

Teman lamamu,
rani

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar